Menolak Rocky Gerung?

Masyarakat Indonesia dewasa ini tentunya tidak asing dengan sosok Rocky Gerung. Sejak penampilan perdananya dalam acara diskusi publik di salah satu stasiun TV Nasional, namanya menjadi melambung meski dibumbui dengan banyak kontroversi. Pemikirannya yang radikal terhadap sebuah permasalahan, banyak membuat orang tergerak untuk ikut memikirkan apa yang ia lontarkan. Rocky Gerung bukan hanya pengamat politik namun ia juga berperan sebagai akademisi, yang manifestasinya beliau tidak hanya berbicara di stasiun televisi namun sering juga mengisi diskusi-diskusi ilmiah di kampus-kampus maupun di kampung-kampung di seluruh Indonesia. Beberapa waktu lalu diskusi ilmiah ini juga dilakukan Rocky Gerung di Jember, tepatnya di salah satu perguruan tinggi swasta di Jember. Rocky Gerung diundang sebagai narasumber dalam diskusi publik yang terbuka bagi kalangan akademisi maupun non akademisi. Namun yang menarik disini bahwasannya kunjungan Rocky Gerung tidak hanya disambut baik, tetapi sambutan yang tidak baik pun muncul dari sekelompok orang yang menolak kehadiran Rocky Gerung. Sehari sebelum kegiatan berlangsung, sekelompok massa yang menolak kehadiran Rocky Gerung mendatangi kampus penyelenggara kegiatan diskusi ilmiah dan melontarkan argumen penolakan serta ancaman terhadap pihak kampus karena alasan-alasan bahwa Rocky adalah penista agama dan sebagainya. Disini penulis tidak akan membahas mengenai pandangan politik penulis terhadap aksi penolakan ini. Namun penulis menyoroti bahwa kejadian seperti ini merupakan fenomena gunung es yang mungkin terjadi di seluruh daerah di Indonesia---yang merupakan efek dari perbedaan pilihan politik. Tahun-tahun politik saat ini sepertinya telah membagi masyarakat Indonesia menjadi dua kubu. Dan hal inilah yang berusaha dirumuskan oleh penulis menggunakan pendekatan psikologi. Psikologi merupakan ilmu yang berusaha menjelaskan cara kerja manusia yang paling utama yaitu ‘berpikir’. Berpikir disini merupakan proses mental yang dijewantahkan secara ilmiah dengan mengamati perilaku manusia yang tampak. Bila ditarik ke dalam sejarah masa lalu, Spinoza pada tahun 1677 menyatakan bahwa manusia ialah binatang sosial. Spinoza merujuk bahwa sejatinya manusia itu bernalar dan bersosial, sehingga kita dituntut untuk menjadi makhluk yang penuh perhitungan. Perhitungan dengan mengukur sebab-akibat perilaku kita yang nantinya dapat mempengaruhi orang lain, dimana konsep ini masih berlaku sampai saat ini. Selain itu sebagai makhluk sosial dalam berperilaku juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial dimana kita berada. Kemudian nilai-nilai dan norma dalam kebudayaan juga berperan aktif dalam membentuk perilaku sosial kita. Lalu mengapa seseorang maupun sekelompok orang menjadi berkubu-kubu, berkonflik dan lain sebagainya ? Hal ini dikarenakan setiap individu maupun kelompok tertentu memiliki persepsi sosial yang berbeda. Persepsi sosial lah ini yang menggerakkan perilaku kita dalam bersosial, termasuk perilaku massa yang menggelar aksi penolakan terhadap Rocky Gerung di salah satu perguruan tinggi swasta di Jember.

Pada dasarnya persepsi sosial terbentuk karena otak kita tidak memproses informasi yang masuk secara pasif, namun secara aktif. Mental kita mengolah informasi sedemikian rupa dengan melibatkan emosi maupun memori sehingga pemaknaan informasi bisa sangat berbeda bagi setiap orang. Dan hal ini sebenarnya merupakan hal yang wajar, karena setiap orang tentunya memiliki pengalaman hidup, tingkat intelegensi, kepekaan emosi, dan nilai-nilai diri yang berbeda. Namun sepertinya persepsi sosial di era politik ini memicu banyak konflik dikarenakan banyaknya kesalahan atribusi dari manusia saat memasukkan informasi ke dalam otak. Kesalahan atribusi adalah kecenderungan untuk memberikan penilaian yang salah terhadap suatu hal karena faktor-faktor tertentu. Kesalahan ini dimungkinkan karena efek globalisasi dimana informasi bergerak cepat dan tanpa sekat, semua orang dapat mengakses segala macam informasi tanpa tahu bedanya mana yang benar dan mana yang salah. Kebenaran dilampaui oleh kecepatan informasi atau dalam istilah akademis merupakan sebuah hiperrealitas.

Hiperrealitas dalam tahun politik saat ini menyajikan bahwa perbedaan pilihan politik merupakan perbedaan yang sangat penting untuk dibedakan seperti perbedaan ras, agama, jenis kelamin. Menjadikan pilihan yang berbeda sebagai bukan bagian dari kelompok nya atau out group sedangkan yang sama merupakan in group. Efek ‘kita’ dan ‘mereka’ ini lah yang yang kemudian memunculkan kesalahan atribusi dalam mepersepsi informasi yang masuk ke otak. Kecenderungan pengelompokan ini berupa penilaian bahwa kelompok ‘kita’ lebih baik daripada ‘mereka’ yang selanjutnya mendorong masyarakat lebih jauh ke dalam stereotip dan prasangka. Bila stereotipe merupakan pelabelan terhadap individu atau kelompok tanpa adanya sikap positif atau negatif, maka prasangka justru berisi perasaan-perasaan negatif individu terhadap seseorang berdasarkan asal atau keanggotaan kelompoknya. Perasaan negatif yang ditimbulkan oleh prasangka umumnya tidak diverifikasi secara intensif oleh orang tersebut, sehingga ciri khas prasangka yakni tidak bisa dikoreksi dengan mudah oleh orang lain---walaupun menyajikan data atau fakta. Hal ini disebabkan karena sebagian besar perasaan negatif lah yang menguasai individu, dibandingan dengan pemikiran rasionalnya. Maka biasanya prasangka ini kemudian dapat memunculkan perilaku agresi terhadap individu atau kelompok lain yang menjadi objek. Asumsi penulis bahwasannya prasangka ini lah yang sepertinya mendorong massa untuk melakukan aksi menolak Rocky Gerung di salah satu perguruan tinggi swasta di Jember. Mereka memiliki perasaan negatif terhadap kehadiran Rocky karena sebab-sebab tertentu, meskipun secara faktual kehadiran Rocky memiliki tujuan yang baik---yaitu membuka ruang diskusi publik. Oleh sebab itu dengan adanya prasangka politik yang kian menjamur, diharapkan dapat menjadi perhatian untuk berbagai pihak agar nantinya prasangka politik ini dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Karena prasangka politik yang tidak terkendali dapat berpotensi menimbulkan perpecahan bagi rakyat Indonesia di masa depan.