Oleh : Dr. Iffan Gallant E.M., S.Sos, M.Si
Penulis adalah dosen, peneliti bidang politik Kabupaten Jember
Buku itu kemudian menjadi pegangan klasik negara yang diimpikan oleh negara barat. Namun isinya tidak berpangkal tidak hanya bagaimana mengelola negara. Akan tetapi berpangkal dari pertanyaan yang selaras dengan rasa kemanusiaan; Apa itu hidup yang baik?.
Tulisan-tulisan Plato yang terdiri dari 10 buku itu, adalah sebuah upaya untuk menjalin kehidupan yang baik , dengan menghubungkan politik dengan filsafat dengan ditujukan kepada pembaca yang memiliki kecerdasan.
Prinsip-prinsip definisi, hukum kontradiksi, kekeliruan berdebat, perbedaan antara esensi dan kebetulan dari suatu hal atau gagasan, antara cara dan tujuan, antara sebab dan kondisi; juga pembagian pikiran menjadi elemen rasional, concupiscent, dan irascible, atau kesenangan dan keinginan menjadi perlu dan tidak perlu adalah bentuk pemikiran yang dapat ditemukan di buku Republik.
Artinya dalam buku itu kita diajak untuk berfikir. Kita diajak kepada sebuah dimensi abstraksi yang menuntut sebuah pemikiran mendalam mengenai Negara. Bahwa konsepsi negara yang dicita-citakan berasal dari sebuah penghargaan yang besar terhadap manusia.
Mau tidak mau, saat ini kita semua berada kepada arus utama demokrasi yang kemudian seringkali menjengkelkan ketika melihat Amerika menjadi polisi demokrasi, namun di dalam negara mereka sendiri sering kali demokrasi menghadapi sebuah gesekan-gesekan yang kadang kala dirasa menggelikan atau lebih tepatnya dinamis?.
Toh, memang kita mengakui, sebagaimana manusia mencari jalannya untuk mendapatkan prinsip kenikmatan seperti kata Freud, manusia mencari jalan bagaimana mencari tata kelola pemerintahan yang relatif stabil.
Dari jaman Sebelum masehi hingga kini, jaman manusia berkelompok dan memilih pimpinan, masa kerajaan dimana kekuasaan adalah wakil serta penjelmaan wewenang dari Yang Maha Kuasa, sampai ke bentuk demokrasi saat ini, yang tentunya demokrasi ini mendapati cabaran dari ideologi lainnya semacam sosialisme, komunisme, fasisme dan lain sebagainya.
Demokrasi juga terasa fit in dengan nilai religiusitas seperti ajaran agama Islam, Khatolik, Protestan, Hindu dan Budha serta kepercayaan lain yang tumbuh subur di Indonesia.
Salah satunya adalah bagaimana demokrasi memandang kekuasaan. Kita kenal saat menjadi mahasiswa, menyerukan pesan Lord Acton yang menulis surat kepada pendeta Anglican, bahwa "Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti korup. Orang hebat hampir selalu orang jahat...".
Hal ini membawa sebuah konsekuensi bahwa kekuasaan itu tidak boleh dimiliki oleh seorang manusia secara absolut. Kekuasaan itu harus dilihat, diwaspadai, diperiksa dengan baik, sehingga tidak disalahgunakan untuk kepentingan individu maupun kelompok saja.
Karena ketika saat seseorang menjadi pemimpin dengan kekuasaan absolut dimana tidak ada siapapun yang berusaha untuk mengkritisi kekuasaan (baca: Pemerintahan) maka tidak pula pemimpin kekuasaan itu pula.
Kekuasaan tidak pernah langgeng. Arus pusaran utama demokrasi mewajibkan kita untuk melakukan rotasi kekuasaan. pergantian kepemimpinan.
Walaupun wajah yang tersebut terasa riasanya, mungkin juga karena kamera jahat dalam perspektif anak muda. Demokrasi pun memiliki sebuah cela depan cermin terutama berkaitan dengan pertanyaan, bagaimanakah pergantian kekuasaan itu dilakukan?
Apakah seperti Orde Baru yang menyatakan dengan cara demokrasi parlementer?. Ataukah sebagaimana Era Reformasi saat ini, one man one vote?, yang merujuk semangat Bentham dan Mills sebagai penganut Utilitarianism “kebahagiaan bersumber dari kenikmatan banyak orang”.
Demokrasi mewajibkan perpindahan kekuasaan. Sebagai sebuah konsekuensi yang merujuk kepada kestabilan pemerintahan maka jelaslah pemilu adalah jalan yang harus dilewati bagi negara penganut demokrasi.
Lebih jelas kita lihat bagaimana Daniel Ortega, presiden Nicaragua yang pada akhirnya harus legowo menyerahkan kekuasaan melalui pemilu yang bersih. Pemerintahannya dinilai sebagai pemerintahan yang melaksanakan demokrasi dengan baik, setelah pemerintahan sebelumnya tertulis sejarah berlawanan dengan demokrasi. Ortega yang baik tidak menjadi presiden lagi karena kalah pemilu. Rakyat menyesalkan kekalahan itu, namun demokrasi adalah demokrasi.
Demokrasi, pemilu, kekuasaan merupakan topik yang renyah dan bisa disantap sepanjang masa. Pemilu juga memiliki varian topik yang nikmat dan seringkali dibawa ke ranah publik; partisipasi pemilih.
Partisipasi pemilih di Kabupaten Jember mengalami angka kenaikan dari tahun 2014 ke 2019. Hal ini patut diapresiasi atas kerja-kerja KPU Kabupaten Jember.
Tentunya, prestasi tersebut bersifat kuantitatif. Bila menilik dalam sudut pandang kualitatif, perlunya KPU merambah dimensi yang tidak hanya partisipasi pemilih saja, namun juga kepada pendidikan politik, bahwa semangat Plato dalam Republik, bagaimana manusia disentuh dalam sebuah kecerdasan artikulasi pemikiran yang kuat tentang pemilu.
Pendidikan politik sebenarnya juga bukan ansih tanggung jawab KPU saja. Terpilin pula tanggung jawab partai politik dalam mewujudkannya. Tidak mudah memang, bila semua bersedia untuk melakukan kerja-kerja politik yang baik, maka hal ini tidak menjadi hal yang sulit.
Tidak ada masalah atas hal tersebut, karena memang tugas KPU sudah diatur undang-undang. Bila mau membandingkan dengan kondisi di Singapura, Lee Kuan Yew sempat menyampaikan ketakutannya akan stok rakyat yang ingin masuk ke politik. Semenjak Lee berkuasa, tingkat kesejerahteraan masyarakat melambung naik. Sehingga rakyat cukup memasrahkan urusan politik kepada pemerintahan. Mereka lebih memilih akuntan, manajemen bisnis, atau hal-hal yang berbau ekonomi, ketimbang politik.
Kesadaran akan politik itulah yang menjadikan Indonesia lebih semarak, terutama menjelang pemilu 2024. Walaupun toh berkebalikan dengan Singapura, pengusaha di Indonesia beberapa waktu yang lalu menyampaikan keberatannya akan adanya pemilu 2024. Hal ini diperkuat dengan pendapat Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, minta pemilu diundur 2027 dengan alasan dunia usaha masih terguncang karena pandemi.
Masyarakat sebagian besar menolak pemilu diundur pada tahun 2027. Sejumlah data dari lembaga survey seperti Indikator Politik Indonesia dan Charta Politika, menyampaikan pemilu tetap untuk dilaksanakan sesuai perintah undang-undang. Hal ini menunjukkan bahwa paling tidak masyarakat yang disurvey itu masih memiliki semangat yang baik mengenai demokrasi.
Selain demokrasi adalah ideologi yang dianggap paling stabil, paling tidak untuk membangun suatu bangsa dan negara. Demokrasi juga membawa kondisi yang ruwet seperti yang dirasakan Danton atas kepenatan politik yang bertubi-tubi dalam revolusi perancis. Namun walaupun begitu, ini masih lebih baik daripada ideologi lain seperti sosialisme atau komunisme atau fasisme yang pernah ada di muka bumi.
Toh, para akademisi “paling tidak” masih tidak abai atas kondisi politik, oligarki pun masih terlihat dalam radar, oligarki bersemunyi dibalik bait suci kata Demokrasi, seperti yang disampaikan Rancière. Tinggal kita sebagai warga negara, maukah membuka pikiran sehingga semua menjadi terang benerang terutama kekuasaan yang sedang berpindah melalui pemilu.
Mari kita tunggu.