Keluh Kesah Seorang Pekerja Sosial

    Pernahkan terbesit dalam pikiran Anda, untuk menjadi pekerja sosial ? Ya, mungkin pilihan tersebut adalah pilihan terakhir bagi sebagian besar orang untuk dijadikan pilihan karir. Dari sebutannya saja, lebih banyak makna pengabdian dan jauh dari kata cuan. Namun keberadaan organisasi kemasyarakatan ini notabene sangat diperlukan. Pemerintah lokal sampai dengan pusat, menggelontorkan banyak bantuan karena di negara besar ini tidaklah mudah mengatasi berbagai permasalahan yang ada di masyarakat. Namun, jangan membayangkan bantuan ini masuk ke dalam kantong pribadi atau menjadi sumber pendapatan yang menjanjikan. Sebagian besar bantuan ini ‘wajib’ kembali kepada masyarakat dengan berbagai bentuk kegiatan. Bantuan ini harus dipertanggungjawabkan kemana larinya, bila tidak, maka organisasi tidak akan dipercaya lagi untuk diberikan bantuan untuk periode selanjutnya. Begitu terus siklusnya, sampai kebanyakan kawan-kawan pekerja sosial ini, cenderung kurang kesejahteraannya. 
    
    Apalagi bagi pekerja sosial perempuan, seperti saya ini. Tanggungjawab domestik terkadang mengalahkan tanggungjawab sosial. Seringkali, hanya sedikit pekerjaaan atau program yang kami ambil, karena tuntutannya berat sekali. Waktu dan tenaga yang dikeluarkan tidak sebanding, kebanyakan dari kami menyebutnya—kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Sampai-sampai cukup lumrah ketika kawan-kawan menemui rekan pekerja sosial perempuan, menggendong anak balita ketika bertemu klien masyarakat. Boro-boro kami menyewa baby sitter, kebutuhan rumah tangga tercukupi saja sudah alhamdulilah. 
    
    Namun mengapa beberapa orang mau berkecimpung di bidang yang tidak menjanjikan ini, masih menjadi pertanyaan besar, pun bagi penulis sendiri. Penulis terjun ke dalam dunia pekerja sosial secara tidak sengaja. Awalnya, penulis terjun untuk membuat portfolio ciamik ketika menjadi mahasiswa. Idealisme-lah yang menjerumuskan penulis. Namun pada akhirnya, profesi berlanjut sampai dengan saat ini. Pahit manis penulis rasakan, meskipun pengalaman penulis tidak sebanding dengan rekan-rekan lainnya—yang bahkan ada yang berkecimpung selama 20 tahun dalam melakukan advokasi kepada masyarakat. Jangan tanya bagaimana kehidupan pribadi mereka, ada istilah tingkat kesuksesan dalam organisasi kemasyarakatan, sebanding dengan seberapa disfungsi keluarganya. 
    
    Mungkin itulah sebabnya organisasi yang penulis gawangi tidaklah besar. Penulis berusaha menyeimbangkan kehidupan, antara masyarakat dan keluarga, antara idealisme dan pragmatisme. Sebagai penutup, penulis ingin mengajak lebih banyak orang untuk menjadi pekerja sosial, karena tidak dapat dipungkiri, dedikasi para pekerja sosial ini seringkali mengalahkan efektivitas peran pemerintah dalam menuntaskan permasalahan masyarakat. Namun jangan lupa, Anda harus bersiap untuk segala kepahitan-kepahitan yang ada, sehingga sedini mungkin sudah mempersiapkan segalanya. Salam. 

Penulis : Lintang