Merebaknya Bunuh Diri di Indonesia : Sebuah Analisis dan Solusi


Oleh : Haressa Lintang Rizkika 
Chairwoman LTS Foundation


    Masih segar diingatan kita, beberapa kasus bunuh diri terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Menurut angka yang dihimpun oleh data Kepolisian RI (Polri), sebanyak 663 kasus bunuh diri terjadi selama periode Januari sampai Juli tahun 2023, dan tentunya saat ini angkanya terus bertambah. Yang terbaru adalah kasus mahasiswi di Semarang yang mengakhiri hidupnya diduga karena permasalahan keuangan karena terjerat hutang pinjaman online. Tentu fenomena ini menjadi pertanyaan besar bagi kita, mengapa seseorang mampu untuk mengakhiri hidupnya.

    Emile Durkheim (1858-1917), seorang tokoh sosiologi terkemuka, telah menyelidiki fenomena bunuh diri dari perspektif sosiologis pada masa lampau. Dalam karyanya, Durkheim mengidentifikasi empat tipe bunuh diri yang mencerminkan hubungan individu dengan masyarakatnya. Pertama, bunuh diri egoistik terjadi ketika seseorang merasa terisolasi dan kesepian, kurang terhubung dengan masyarakatnya, sehingga kehilangan ikatan sosial yang penting. Kedua, bunuh diri altruistik terjadi ketika individu mengorbankan diri demi kepentingan kelompok atau idealisme tertentu, sering kali dalam budaya yang menghargai pengorbanan tersebut. Ketiga, bunuh diri anomik berkaitan dengan situasi ketidakstabilan sosial yang disebabkan oleh perubahan tiba-tiba, seperti kegagalan ekonomi yang meluas. Terakhir, bunuh diri fatalistik terjadi ketika individu merasa terkekang oleh kontrol yang sangat ketat atau situasi yang tidak bisa diubah, seperti dalam kondisi penindasan. Durkheim menganggap bunuh diri sebagai fenomena sosial yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dalam masyarakat, dan karyanya memberikan pemahaman awal yang penting tentang bagaimana faktor-faktor sosial dapat memengaruhi perilaku individu dalam hal bunuh diri.

    Individu yang memutuskan untuk mengakhiri hidup seringkali melihat tindakan tersebut sebagai satu-satunya jalan keluar dari situasi yang dirasa sangat membebani dalam hidup mereka. Saat ini, kita hidup dalam era yang ditandai oleh perubahan yang cepat dan dinamis. Dalam beberapa tahun terakhir saja, kita telah menghadapi serangkaian peristiwa yang mencengangkan, seperti merebaknya pandemi COVID-19 yang mengubah hidup kita secara drastis, kenaikan inflasi bahan-bahan pokok yang memengaruhi stabilitas ekonomi, dan kompleksitas hubungan sosial yang semakin rumit melalui media sosial. Dalam konteks ini, berbagai penelitian telah menyoroti bagaimana perubahan-perubahan ini dapat memicu stres yang berlebihan pada individu. Mereka merasa terdesak untuk terus beradaptasi dengan perubahan yang begitu cepat, yang bisa mengakibatkan perasaan kebingungan, kecemasan, dan hilangnya rasa kendali dalam hidup mereka. 

    Selain itu situasi-situasi yang berubah cepat dapat memicu stres karena manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dan ekspektasi untuk mengontrol segala aspek dalam hidupnya. Kita sebagai makhluk sosial memiliki keinginan untuk terhubung dengan orang lain, merasa diakui, dan memenuhi ekspektasi sosial. Saat ini, lingkungan yang kita hadapi, termasuk penggunaan yang meluas dari media sosial, tidak selalu mendukung kesehatan mental. Media sosial, seperti platform-platform jejaring sosial, menghubungkan individu dari berbagai belahan dunia dan menghapus sekat geografis serta budaya. Namun, konsekuensi dari konektivitas ini adalah paparan yang terus-menerus terhadap nilai-nilai, pandangan, ideologi, dan gaya hidup orang lain. Individu sering merasa tertekan oleh tekanan untuk memenuhi ekspektasi sosial yang semakin kompleks, dan terlalu banyak paparan ini dapat menimbulkan perasaan tidak memadai, perbandingan sosial yang merugikan, dan perasaan ketidakpastian. Kombinasi kebutuhan akan koneksi sosial dengan paparan yang tinggi terhadap perbedaan dapat menciptakan ketidaknyamanan dan stres psikologis. Selain itu paparan berita-berita negative secara tidak langsung juga turut menciptakan kecemasan masal pada masyarakat karena memicu perasaan ketidakpastian dan kekhawatiran yang menyebar melalui komunitas. Kecemasan masal dapat muncul ketika individu-individu dalam masyarakat merasakan bahwa situasi yang dijelaskan dalam berita dapat memengaruhi kehidupan mereka secara langsung atau tidak langsung. Hal ini dapat memperbesar efek stres dan kecemasan yang berdampak pada kesejahteraan mental secara kolektif, memperburuk suasana sosial, dan bahkan mempengaruhi perilaku masyarakat secara keseluruhan.

    Maka penting bagi pemerintah untuk hadir dan mengambil tindakan konkrit untuk mencegah peningkatan angka bunuh diri yang semakin meluas saat ini sangat mendesak. Ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi masalah ini. Pertama, perlu mengurangi pemberitaan yang didominasi oleh narasi negatif seputar bunuh diri. Pemberitaan yang berfokus pada insiden bunuh diri dapat memicu efek domino dan menjadi contoh bagi individu yang rentan. Pemerintah harus bekerja sama dengan media untuk mempromosikan pemberitaan yang lebih bijak dan berhati-hati tentang topik ini. Kedua, upaya perlu dilakukan untuk memperbanyak tenaga profesional psikologi di setiap wilayah. Pelayanan kesehatan mental saat ini sering dianggap kurang terjangkau oleh masyarakat. Dengan meningkatkan aksesibilitas layanan konseling dan terapi psikologis, individu yang membutuhkan bantuan psikologis dapat dengan mudah mengaksesnya. 

    Ketiga, kampanye kesadaran kesehatan mental harus dipromosikan di kalangan masyarakat. Ini bisa melibatkan edukasi tentang gejala dan penanganan masalah kesehatan mental, serta mengurangi stigma terkait dengan pencarian bantuan psikologis. Masyarakat perlu diberdayakan dengan pengetahuan tentang kesehatan mental agar mereka dapat mengenali masalahnya dan mencari pertolongan jika diperlukan. Terakhir, upaya ekonomi yang komprehensif harus diterapkan untuk mengurangi risiko bunuh diri yang terkait dengan masalah ekonomi. Kebijakan yang mendukung peningkatan lapangan kerja, kesejahteraan ekonomi, dan perlindungan sosial dapat membantu mengurangi tekanan finansial yang sering menjadi pemicu bunuh diri. Pemerintah harus berperan sebagai pemimpin dalam mengambil tindakan yang nyata untuk melindungi kesejahteraan mental masyarakatnya. Langkah-langkah ini akan membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi individu yang mungkin merasa terdesak oleh tekanan sosial, ekonomi, atau psikologis, sehingga dapat mengurangi angka bunuh diri yang meluas.~HLR