KEKERASAN SIMBOLIK DALAM FENOMENA KEKERASAN SEKSUAL

Oleh : Haressa Lintang Rizkika

Ketua Yayasan LTS, Aktivis Nasyiatul Aisyiyah (NA) Kabupaten Jember


Ramai diberitakan dalam beberapa minggu yang lalu tentang seorang mahasiswi yang ditemukan meninggal dunia di makan sang ayahanda diduga karena bunuh diri. Setelah diusut penyebab bunuh diri bukan karena kesedihan ditinggal ayah, tetapi karena merasa tertekan sebagai korban kekerasan seksual oleh mantan pacar. Korban dipaksa melakukan aborsi oleh mantan pacar, dan menurut pengakuan teman-temannya korban disudutkan oleh pihak keluarga laki-laki maupun kerabat dekat keluarganya sendiri. Hal ini tentu akan mengguncang mental siapapun yang mengalaminya, terlepas tentang kebenaran lebih lanjut kasus tersebut, sudah umum kita temukan bahwa perempuan sangatlah rentan menjadi korban dalam segala lini kehidupan bermasyarakat kita.

Apa yang terjadi pada perempuan, sangatlah beragam. Kasus-kasus seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pemerkosaan, pelecehan seksual baik yang berbentuk verbal dan non verbal banyak kita temui di dalam masyarakat. Bak fenomena gunung es, kasus yang tidak tercatat atau dilaporkan kemungkinan jauh lebih besar. Karena biasanya korban enggan melapor sebab stigma yang akan didapatkan sebagai ‘perempuan yang tidak bisa menjaga diri’—oleh masyarakat jauh lebih menakutkan dibandingkan dengan konsekuensi yang lainnya. Lalu mengapa hal demikian dapat terjadi ? Terlepas dari latar belakang dan lain sebagainya sudah seyogyanya korban kekerasan dilindungi dan mendapatkan dukungan.

Kekerasan seksual pada dasarnya tidak mengacu pada ‘perempuan’ saja sebagai objek korban. Pada dasarnya makna kekerasan seksual adalah segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa mendapatkan persetujuan, dan memiliki unsur paksaan atau ancaman. Pelaku kekerasan seksual tidak terbatas oleh gender dan hubungan dengan korban. Artinya, perilaku berbahaya ini bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan kepada siapapun termasuk istri atau suami, pacar, orangtua, saudara kandung, teman, kerabat dekat, hingga orang yang tak dikenal. Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk rumah, tempat kerja, sekolah, atau kampus. Namun makna ini bergeser ke sembarang tempat karena konflik kepentingan. Menjadikan kekerasan seksual hanya dimiliki oleh perempuan sebagai korban. 

Mengapa mayoritas korban perempuan ? Sudah jelas dalam konteks makna, tidak hanya perempuan saja yang dapat menjadi korban. Nah disinilah penulis mengusulkan bahwa yang rentang menjadi korban bukan terbatas pada gender, tetapi merujuk siapa yang lebih berkuasa daripada yang lainnya. Korban adalah pihak yang dipastikan sub-ordinat dibandingkan pihak pelaku. Maka siapa pun pihak yang lebih lemah akan menjadi korban. Pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai merupakan sebuah fenomena sosial yang dapat ditemukan dalam segala aspek kehidupan bermasayarakat. Bourdieu seorang filsuf Perancis menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan sistemik yang sudah mengakar dan terjadi melalui proses panjang. Kekerasan ini disebut Bourdieu sebagai kekerasan simbolik. 

Memahami kekuasaan dan kekerasan simbolik menekankan pada pemahaman kita akan peran bahasa sebagai sistem simbol. Selain berperan sebagai alat komunikasi dalam memahami dan menyampaikan pikiran serta perasaan antar manusia, bahasa memiliki peran laten yang seringkali tidak disadari, yaitu sebagai praktik kekuasaan. Dengan menggunakan simbol-simbol bahasa, ideologi yang terdapat dibaliknya dapat disemaikan perlahan-lahan secara tidak kentara. Seseorang atau kelompok dengan kekuasaan simbolik dapat mengendalikan simbol dan mengonstruksi realitas melalui tata simbol tersebut. Mereka berada pada posisi tertinggi dalam strata sosial karena kepemilikan mereka akan modal ekonomi, budaya dan sosial. 

Ketika mereka yang menjadi korban menerima begitu saja dan tidak menyadari pemaksaan yang ditanamkan lewat simbol tersebut, maka pada saat itu praktik kekuasaan simbolik bekerja. Kekuasaan simbolik adalah kekuasaan yang bekerja melalui simbol-simbol bahasa untuk menggiring mereka yang didominasi mengikuti makna yang diproduksi berdasarkan kepentingan mereka yang mendominasi. Dalam menyembunyikan dominasinya, kekuasaan simbolik menggunakan cara-cara yang sangat halus agar tidak dikenali. Karena begitu halusnya praktik dominasi yang dijalankan, korban tidak menyadari bahwa yang terjadi adalah praktik kekuasaan. Sehingga alih-alih menolak, justru korban menerima praktik dominasi tersebut.

Contoh nyata bentuk kekerasan simbolik adalah ‘perempuan harus mampu menjaga harkat martabatnya’, ‘perempuan harus dibawah laki-laki’, ‘pemerkosaan terjadi karena perempuan memakai baju yang mengundang syahwat’, ‘murid harus tunduk pada guru atau dosen’, ‘karyawan harus mengikuti setiap aturan pimpinan’, dan masih banyak yang lainnya. Bahasa-bahasa tersebut, yang telah ditanamkan secara sistemik dalam masyarakat kita selama bertahun-tahun menyebabkan korban menjadi lemah untuk melawan saat terjadi kekerasan seksual pada dirinya. Dalam konteks tulisan ini, bukan penulis menolak values-values tersebut, namun mengajak seluruh masyarakat untuk melihat kembali penyebab atau akar masalah dari maraknya kekerasan seksual yang terjadi dewasa ini. Sepatutnya kita semua menjadi lebih empati dan terbuka terhadap kejadian kekerasan seksual dan meninggalkan stigma-stigma yang menyudutkan korban. Harapannya dengan kesadaran serta dukungan masyarakat dapat menjadi barrier yang efektif bagi kelompok atau individu yang rentan menjadi korban kekerasan seksual.