Menjadi Perempuan Itu 'Sulit'

Oleh : Haressa Lintang Rizkika

    sumber gambar; pexels.com
    

    Jika Saudara adalah perempuan, maka selamat ! Mari kita sama-sama mengadu nasib dengan membaca tulisan ini. Jika Saudara adalah laki-laki, mungkin tulisan ini akan membantu Anda dalam membuka satu kunci kotak Pandora diantara beribu-ribu kamar misteri yang ada dalam isi kepala perempuan. Mari kita mulai dengan premis, ‘sulitnya menjadi perempuan’. Jika dipikir-pikir lagi, ada banyak hal yang bisa kita bahas terkait dengan defenisi ‘sulit’ itu sendiri. Bila menengok pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sulit berarti susah untuk dikerjakan atau susah untuk diselesaikan. Oh ya, saya menulis tidak untuk mendiskreditkan peran laki-laki atau menyepelekannya lho. Saya hanya membagikan hasil pemikiran saya, dan menyajikannya agar dapat diperdebatkan. 
    Yang pertama adalah berkaitan dengan budaya. Budaya di Indonesia, sejak dahulu kala berkeyakinan bahwa laki-laki lebih tinggi derajatnya daripada perempuan. Ini tidaklah salah, sekali lagi permasalahannya ada pada implementasi atau kenyataan yang ada di lapangan. Orang-orang yang kemungkinan masih belum matang secara emosional dan pemikiran; menganggap ketika derajat laki-laki lebih tinggi, maka otomatis yang perempuan layak untuk direndahkan. Nah, direndahkan disini banyak contohnya; banyak perempuan menghadapi kekerasan fisik, emosional, atau seksual dalam rumah tangga. Mereka mungkin dianggap sebagai milik suami dan merasa terjebak dalam hubungan yang beracun karena norma sosial yang menekankan pentingnya keluarga dan pernikahan. Belum lagi bayang-bayang diduakan dengan perempuan lain atas dalih menjalankan perintah agama. Untuk beberapa orang, agama tampaknya menjadi prasmanan. Yang enak dilakukan, yang tidak enak ditinggalkan. 
    Lalu ada pula permasalahan pemisahan pekerjaan rumah tangga. Pada banyak kasus, perempuan diharapkan untuk mengurus semua tugas rumah tangga, seperti memasak, membersihkan, dan merawat anak-anak, sementara tanggung jawab finansial dan karir umumnya ditangani oleh suami. Sebenarnya hal ini tidak ada masalah, ketika keduanya bersepakat, saling menghargai dan bekerjasama. Namun seringkali pekerjaan rumah dianggap rendah nilainya dan dianggap hanya sebagai tanggung jawab perempuan semata. Pada dasarnya pandangan ini merendahkan martabat perempuan dengan mengabaikan kontribusi mereka dalam menjalankan rumah tangga dan keluarga. Padahal kalau mau objektif, mari kita konversikan ke dalam bentuk upah. Berapa penghasilan seorang ibu ketika melibas semua job desk sebagai guru, ART, laundry, supir antar jemput, koki; seyogyanya kemungkinan nilainya lebih besar daripada penghasilan suami. Belum lagi tugas untuk memuaskan nafsu suami, yang kalau dihitung-hitung perjam bisa ratusan ribu bahkan jutaan. Itu kalau mau hitung-hitungan. Tapi intinya disini adalah sebuah keluarga bisa berfungsi dengan baik karena ada peran perempuan pula, yang penting dalam menjaga situasi rumah atau menjaga gawang. Sehingga suami dapat dengan tenang melakukan serangan-serangan dalam mencetak gol-gol kehidupan. Bila semuanya bekerjasama, tidak sulit untuk meraih puncak klasemen A dalam Liga Kehidupan.
    Ya, itu tadi masih tentang topik perempuan dalam rumah tangga, yang kedua adalah tentang pekerjaan dan kehidupan sosial bermasyarakat para perempuan. Beberapa perempuan pasti merasakan adanya pembatasan karir dan pendidikan. Beberapa perempuan mengalami pembatasan dalam mengejar pendidikan lebih lanjut atau karir profesional karena tanggung jawab rumah tangga dan peran sebagai istri diutamakan. Para perempuan ini harus berhenti sejenak, mengambil jeda atau bahkan berhenti sama sekali ketika sudah memutuskan untuk berumah tangga. Dalam kehidupan sosial bermasyarakat contoh kecilnya adalah ‘beban parenting’, dimana perempuan harus memperhatikan anaknya sampai hal terkecil. Berat badan anak adalah tugas ibu, anak sakit adalah tugas ibu, pendidikan anak adalah tugas ibu, anak rewel juga merupakan tugas ibu, dan lain sebagainya. Hal tersebut terkadang membuat perempuan menjadi kurang sejahtera dan dalam beberapa kasus mereka merasa tersandera. Mungkin disinilah cikal-bakal munculnya gerakan ‘childfree’ yang populer di kalangan generasi yang lebih muda. Mereka menganggap dengan memiliki anak akan menghambat mereka dari mencapai apa yang mereka inginkan.
    Nah, lalu bagaimana ? Bagaimana solusinya ? Lalu apakah perempuan harus melawan dunia ? Jawabannya tidak ! Tetaplah menjadi perempuan dan mari hanya mengubah perspektif. Bila ditarik jauh kebelakang, dimana cerita manusia pertama diciptakan sebenarnya sudah jelas pulalah. Laki-laki dan perempuan sudah memiliki perannya masing-masing. Yang jelas, tidak harus ada konflik, perdebatan, perselingkuhan, perceraian, gerakan-gerakan ekstrimis kiri dan kanan ketika setiap insan menyadari perannya masing-masing. Menyadari peran tidak hanya, mengetahui tetapi juga mau untuk meredam ego sendiri agar ketika ada permasalahan justru berfokus terhadap solusi. Menjadi perempuan, ketika menikah hendaknya tugas rumah tangga menjadi tugas bersama. Komunikasi antar pasangan dijalin dan suportif terhadap kenginan-keinginan pasangan. Perempuan ketika berada di lingkungan pekerjaan, seharusnya memiliki sebuah kesempatan yang adil. Adil bukan berarti sama rata, tapi harus mempertimbangkan kondisi-kondisi perempuan itu sendiri. Seharusnya industri tidak membatasi, ramah, dan memberikan kesempatan kepada perempuan, meskipun ia telah menikah dan memiliki anak. Dalam masyarakat, seharusnya perempuan memiliki beban yang sama besar dalam mengasuh anak. Ayah haruslah memiliki kewajiban yang sama ketika anak harus dididik dan dirawat. 
    Penting untuk diingat bahwa implementasi pandangan ini mungkin melibatkan banyak faktor sosial, budaya, dan ekonomi yang perlu diperhatikan. Namun, visi tulisan ini adalah tentang kerjasama, kesetaraan, dan komunikasi yang kuat dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan dapat menjadi landasan yang baik untuk membangun masyarakat yang lebih harmonis dan inklusif. Ketika kita merayakan perbedaan-perbedaan yang ada sambil tetap menjaga kesetaraan dan kerjasama, kita menciptakan panggung bagi pertumbuhan dan kemajuan bersama. Dengan demikian, mari kita bergandengan tangan dalam perjalanan menuju masa depan yang lebih baik, di mana laki-laki dan perempuan bersama-sama membangun fondasi kemanusiaan yang lebih kokoh dan penuh makna.~HLR