Angkutan Online VS Konvensional , Dimanakah Kepentingan Publik?


Oleh : Dr. IFFAN GALLANT EL MUHAMMADY,S.Sos.,M.Si.*

*Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jember



Garis Demarkasi Kepentingan Privat dan Publik
    Wacana tarik menarik mengenai tema sentral publik dan privat telah menjadi perdebatan abadi dalam kebijakan publik. Tulisan ini dimulai dengan postulat, dimanakah letak garis antara kepentingan publik dan kepentingan privat?
  Dimulai sejak zaman peradaban garis awal berpijak mengenai pemecahan ketegangan antara publik dan privat adalah dengan gagasan pasar(market). Dengan gagasan pasar ini akan memunculkan kepentingan individu yang diakomodir sehingga jelas mana yang menjadi garis publik mana yang menjadi garis privat. Garis ini didominasi oleh kepentingan ekonomi, kepentingan publik akan muncul apabila negara memfasilitasi pasar tersebut dan tidak membatasi atau diatur negara.
    Lalu, selama berabad-abad, bergeserlah garis demarkasi antara publik dan privat tersebut. Para ahli ekonomi menganggap bahwa negara ternyata mengintervensi segala bidang. Sehingga memunculkan paradigma baru, membedakan kepentingan publik dan privat adalah dengan menggunakan kriteria “merugikan”.
    Namun garis ini pun dipertanyakan, karena diksi “merugikan” melekat dengan kepentingan-kepentingan yang muncul bagi setiap orang yang akhirnya menguntungkan sebagian orang dan merugikan bagi masyarakat lainnya. Sampai pada akhirnya perdebatan publik dan privat memunculkan institusi kelembagaan yang memiliki pengetahuan dan mengatur kepentingan publik dan privat yaitu birokrasi. Gagasan “birokrasi” yang diusung oleh Weber ini berangkat dari rasionalisasi di dalam masyarakat industri. Birokrasi adalah fungsionaris rasional yang melayani kepentingan publik. 
    Namun gagasan Weber ini mendapat serangan dari riset-riset tentang birokrasi dimana birokrasi justru menunjukkan lebih banyak sisi “irasionalitasnya” atau setidaknya birokrasi menjadi sebuah rasionalitas yang terkekang(lihat simon, 1945 dan Lindblom,1959).  Studi yang lain pun menunjukkan realitas birokrat yang tidak bekerja demi kepentingan publik namun mereka menunjukkan upaya untuk mengejar tujuannya sendiri(lihat mueller,1989)
   Perdebatan  panjang  tersebut masih terjadi hingga saat ini, dimana motivasi kepentingan publik dan kepentingan privat menjadi relasi perdebatan ruang publik dan ruang privat. Hingga sampai pada garis demarkasi yang disepakati yaitu kepentingan privat adalah yang ada hubungannya dengan keberhasilan komersial ekonomi sedangkan kepentingan publik adalah yang berkaitan dengan standar layanan konsumen. 



Konsumen lebih memilih angkutan konvensional
    Kepentingan privat inilah yang menjadi sebuah dasar bagi angkutan konvensional untuk memprotes suburnya angkutan online yang muncul di Kabupaten Jember ini. Sejak munculnya angkutan online ini menjadikan pendapatan angkutan konvensional menjadi menurun.  Kepentingan ekonomi para pekerja angkutan konvensional yang harus melewati regulasi-regulasi yang cukup pelik untuk bekerja. Bila  dicermati dari arah terminal tawang alun ke terminal arjasa atau pakusari tidak banyak yang menggunakan mode angkutan ini. 
    Permasalahan dari sisi suku cadang kendaraan yang fluktuasi mengikuti mata uang dollar menjadikan suku cadang yang mahal bagi penyedia angkutan. Semisal harga ban mobil baru dibandrol sekitar Rp.400.000 per ban, bahkan bisa lebih. Akan menyebabkan kendaraan tidak terasa nyaman, berdecit, bahkan naik lin terasa seperti naik perahu karena ban “yang hamil”. Masalah keselamatan juga patut dipertanyakan, silahkan cek, apakah sabuk pengaman angkutan lin sudah sesuai standar keselamatan SNI 09-4097-1996?. Atau cek airbag apakah sesuai dengan ISO 12097-1:2002?. Bila kendaraan bermotor apakah helmnya sudah berstandart SNI 1811:2007?.
    Harga bahan bakar minyak yang tidak lagi disubsidi juga menjadikan dalam setiap berangkat dari terminal ke terminal tidak layak menghasilkan pundi-pundi uang. Ini karena jarang orang kini bepergian menggunakan ojek pangkalan atau Lin bahkan tidak lagi kita temui Bis Kota dari Perusahaan DAMRI yang “ngetren” bagi orang yang lahir di tahun 80-90an.  
    Bila anda berkilah bahwa angkutan konvensional tidak berubah menjadi angkutan yang nyaman, dengan kursi yang keras, tidak laik jalan, kotor, ban yang berdecit belum lagi mogok, tidak bisa pula kita menyalahkan sopir. Karena merekapun kebanyakan hanya menyewa dari pemilik kendaraan lin. 
    Dengan jumlah pemasukan sedikit, bahkan kadang-kadang tidak cukup membayar sewa, dan dimahfumi oleh pemilik kendaraan, maka dapat dipastikan mustahil akan ada peremajaan terhadap kendaraan konvensional. Bagi ojek konvensional seperti ojek pangkalan pun berat menanggung kredit kendaraan, sehingga senada dengan pemilik kendaraan lin, dimana peremajaan kendaraan itu sulit dilakukan. Akuilah, memang itu terjadi. 
    Belum lagi tekanan bagi para sopir di luar pekerjaan. Tekanan diluar pekerjaan seperti naiknya harga sembako pula menjadikan tekanan yang tidak terlihat terutama bagi para sopir angkutan konvensional. Belum lagi bila sudah berumah tangga, di rumah, dimana dapur harus”ngebul” mereka terpaksa harus mengutang kesana kemari.  
    Di rumah tangga mereka juga harus ada anak dan istri yang harus diberikan nafkah. Baik lahir berupa uang belanja maupun batin dimana waktu mereka tersita untuk bekerja keras untuk menutup uang sewa kendaraan yang mereka bawa bagi lin ataupun menutup kredit motor bagi para ojek pangkalan. 
    Tanpa terlihat secara jelas, hal ini bisa menjadi bara masalah sosial. Bagaimana tidak terbantahkan, perhatian yang kurang terhadap anak akan menjadi dampak psikologis bagi anak dimana kasih sayang orang tua yang tidak sempurna akibat harus menghabiskan waktu mencari penumpang, pendidikan sang anak kadang kala diserahkan kepada istri yang dengan kemampuan parenting terbatas menyebabkan kehilangan motivasi yang kuat dalam belajar. Sehingga yang paling penting lulus saja yang menjadi ukuran. 
    Belum lagi istri yang kurang kasih sayang suami, tak pelak beberapa waktu yang lalu Pengadilan Agama Jember mencatat jumlah permohonon dan gugatan perceraian yang diterima selama tahun 2017 mencapai 7.775 kasus. Memang perlu ada riset tersendiri mengenai dampak psikologis para pekerja angkutan konvensional. Namun secara cepat-cepat tanpa risetpun kita akan mengiyakan kesimpulan ini.
  Dengan melakukan pengamatan cepat-cepat pula kita sebagai konsumen akan menjatuhkan pilihan pada angkutan online. Kemudahan mengakses kendaraan yang tersedia, terutama dengan teknologi yang berkembang menjadikan pilihan yang menarik bagi konsumen.
    Dari  segi ketepatan waktu, kejelasan kendaraan, juga pengendara yang jelas, lebih-lebih biaya yang sudah ditetapkan malah menjadikan angkutan online menarik untuk dipilih bagi setiap orang. Pengguna Handpone pintar di indonesia ini besar, pengguna telepon seluler (ponsel) di tanah air mencapai 371,4 juta pengguna atau 142 persen dari total populasi sebanyak 262 juta jiwa. Artinya, rata-rata setiap penduduk memakai 1,4 telepon seluler karena satu orang terkadang menggunakan 2-3 kartu telepon seluler. Sementara kaum urban Indonesia mencapai 55 persen dari total populasi. Bahkan sampai entitas umur paling rendah(anak SD misalnya) sudah memiliki handphone pintar. 
    Apalagi teknologi adalah hal yang tidak bisa dibendung. Dalam film sains fiksi Terminator 1 hingga 3 adalah sebuah gambaran peramalan dimana terjadi  gesekan besar di masa depan antara manusia dan teknologi.
Bila kita menilik lebih dalam berkaitan dengan kebanggaan, siapapun bisa naik mobil nyaman, yang notabene masih berusia 5 tahun terakhir, tanpa harus malu. Ajining toto soko busono kini sedikit bergeser ajining toto soko mobile menjadi guyonan yang sering muncul. Standar dianggap orang kaya dengan naik mobil, walaupun sebenarnya taxi online. Pergeseran budaya yang telah diramalkan jauh oleh para begawan cultural studies. 
    Bahkan yang memiliki mobil di rumahnya pun akan memilih angkutan online karena dirasa nyaman, tanpa harus repot-repot mengemudikan kendaran. Segalanya menjadi praktis dan aman. Aman ini terlihat sopir yang harus sesuai dengan identitas. Sungguh  menjadi kebodohan yang nyata bagi para pelaku kriminal apabila (kasusnya sedikit sekitar 7 kasus dari tahun 2016-2018) melakukan tindakan kriminalitas di angkutan online, karena semua terdigitasi dengan baik dengan menggunakan teknologi handphone pintar dimana semua tercatat dalam algoritma khusus, sehingga memudahkan pihak berwajib menangani kasus kriminalitas dalam angkutan online.
    Namun apakah para pekerja angkutan online ini tidak mengalami masalah serupa dengan para pekerja angkutan konvensional?. Jangan salah, saat inipun, para pekerja angkutan online juga mengalami masalah yang sama. Tarif yang kelewat rendah pun menjadi alasan yang kuat bahwa mereka juga harus banting tulang kesana kemari hanya untuk tutup poin. 
    Belum lagi regulasi persyaratan Surat Ijin Mengemudi. Persyaratan masuk koperasi Online. Bahkan mobil yang dipakai adalah mobil pribadi, jelas berkaitan dengan suku cadang mengalami kesulitan. Apalagi BBM yang harus dikeluarkan tinggi. Kalau ditanya dimensi sosial, ekonomi, psikologi pasti mereka juga merasakan hal yang sama. Para pekerja online ini berada pada lingkaran yang sama dengan pekerja konvensional. Sama-sama pekerja ekonomi, sama sama pelaku kepentingan privat dan sama susahnya.

Kesepakatan tanpa Publik(konsumen)
    Beberapa waktu yang lalu terdapat Deklarasi Damai yang menjadi kesepakatan angkutan online dan konvensional ada beberapa kesepakatan. Menarik memang, sebuah usaha untuk mempertemukan angkutan konvensional dan angkutan online, patut diapresiasi. Ini adalah upaya yang baik dari berbagai pihak untuk menangani masalah ini. Baik dari kepolisian, Dinas Perhubungan , pihak angkutan online dan pihak angkutan konvensional.
    Namun bila kita merujuk pada awal pembukaan tulisan ini, dengan postulat dimanakah letak garis antara kepentingan publik dan kepentingan privat?,  penulis mempertanyakan dimana kepentingan publik itu?. Dalam kesepakatan tersebut tidak terlihat upaya memfasilitasi standar layanan konsumen. Disini tidak ada upaya melindungi konsumen. Konsumen tidak diajak rembuk. 
    Pemerintah Daerah sebagai kepanjangan tangan memegang amanah warga tidak bertindak melindungi konsumen. Bagaimana tidak, Pemerintah Daerah yang diwakili Dinas Perhubungan  hanya bertindak sebagai pihak netral mendamaikan kepentingan privat(para pelaku ekonomi) dengan melupakan kepentingan publik. Lihat saja poin-poin dalam kesepakatan, tidak ada yang membahas kepentingan publik. Secara legal standing kesepakatan tersebut sangat lemah.
    Penulis menganalogikan dengan kesepakatan tersebut, bagaimana bila seorang yang sakit di rumah sakit umum daerah, tinggal di daerah trayek angkutan lin dan ojek konvensional, pulang setelah opname, pada akhirnya harus berjalan dengan susah payah ke pertigaan jalan raya lalu naik lin dan turun di perempatan lalu harus oper kendaraan konvensional karena berbeda trayek lalu berjalan lagi untuk sampai di rumah yang berada di pojok perumahan jauh dari jalan raya.
    Jelaslah masing masing pihak memiliki kepentingan yang sama dan negara harus memfasilitasinya. Ini menjadikan diksi kuat yang patut dipertanyakan terutama poin-poin kesepakatan tersebut. Tentu saja Dinas Perhubungan  harus menegaskan kembali kewajibannya adalah ikut serta dalam melindungi warga negaranya dalam kepentingan publik tersebut. 
    Bukankah  kesepakatan tersebut justru membuat para konsumen akan lebih memilih angkutan online?. Konsumen merasa dirugikan atas kesepakatan tersebut. Masalah utama mengapa konsumen lebih memilih angkutan online ketimbang angkutan konvensional itu tidak diselesaikan. Hal ini akan menggerus angkutan konvensional itu sendiri. 

Kebijakan yang Solutif
    Para sopir dan ojek angkutan konvensional perlu dibuatkan kebijakan yang baik sehingga mereka terpenuhi kepentingannya. Angkutan yang nyaman berarti harus ada kebijakan mengenai subsidi bagi angkutan. Keluarga yang ditinggalkan di rumah juga wajib mendapatkan perhatian, konseling dari Dinas Sosial misalnya. Dan lain sebagainya.
    Juga para sopir dan ojek online juga perlu dibuatkan kebijakan yang terpenuhi kepentingannya pula. Mereka juga pekerja yang mencari  ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ini adalah konsekuensi era modern, dimana ada pergeseran dalam mendapatkan mata pencaharian di jember yang agraris menjadi pekerja urban.
    Harus upaya menyelesaikan konflik di sisi kepentingan privat. Antara para pekerja ankutan konvensional  dan angkutan online. Namun jangan hanya sebatas kepentingan privat saja. Kepentingan publik yang juga penting untuk dipenuhi.  
    Maka perlu Pemerintah Daerah melaui Dinas Perhubungan  menfasilitasi semua kepentingan yang ada. Perlu dilakukan kajian-kajian yang bersifat akademis untuk melihat dampak sosial, ekonomi, dan psikologis atas sebuah kebijakan kepentingan privat yang ada hubungannya dengan keberhasilan komersial ekonomi dan juga kepentingan publik berkaitan dengan standar layanan konsumen.  Semoga kesepakatan tersebut bukan langkah terakhir dalam mengatasi permasalahan moda angkutan online dan konvensional.  Semoga Saja.

*NB : Artikel ini pernah diterbitkan di Radar Jember